Kisah Sedekah Jubah Rasulullah Saw
Bulan Ramadhan baru saja berlalu, meninggalkan kita dengan perasaan yang bercampur antara bahagia dan sedih. Bahagia, karena kita telah diberikan kesempatan untuk menjalani ibadah di bulan penuh keberkahan ini. Namun, di sisi lain, ada rasa sedih yang menyelimuti hati. Ramadhan, bulan di mana amal kebaikan dilipatgandakan, di mana rahmat dan ampunan Allah begitu dekat, telah pergi meninggalkan kita.
Kesedihan ini semakin mendalam ketika kita menyadari bahwa belum tentu kita akan kembali bertemu dengan Ramadhan di tahun berikutnya. Kita tidak tahu apakah masih diberi umur panjang untuk kembali merasakan indahnya suasana ibadah di bulan suci ini. Sedangkan banyak peluang berharga yang Allah berikan di bulan ini, namun banyak yang kita sia-siakan begitu saja.
Hadirin yang Dimuliakan Allah Swt.
Para sahabat Rasulullah ﷺ adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang luar biasa. Mereka tidak hanya bersungguh-sungguh dalam beribadah di bulan Ramadhan, tetapi juga merasa khawatir setelahnya. Mereka takut jika ibadah yang telah mereka lakukan selama sebulan penuh tidak diterima oleh Allah ﷻ baik itu puasa, shalat, sedekah, dan doa
Karena itulah, setelah Ramadhan berlalu, mereka tidak merasa puas dan tenang begitu saja. Selama enam bulan setelah Ramadhan, mereka terus berdoa dengan penuh harap:
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَأَعْمَالَنَا فِي رَمَضَانَ
"Ya Allah, terimalah puasa dan amal ibadah kami di bulan Ramadhan."
Kemudian, dalam enam bulan berikutnya, mereka kembali memanjatkan doa:
اللَّهُمَّ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ
"Ya Allah, sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan berikutnya."
Mereka sangat memahami bahwa diterimanya amal ibadah adalah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Dan jika Allah telah mencintai seseorang, maka Allah akan menuntunnya kepada kebaikan, akan memberikan hidayah, akan melimpahkan rahmat, serta memperluas rezekinya—baik berupa harta yang halal, keluarga yang sakinah, maupun kehidupan yang penuh keberkahan.
Hadirin yang dirahmati Allah,
Kita telah melewati bulan Ramadhan yang penuh berkah. Bulan di mana kita berpuasa di siang hari, menghidupkan malam dengan shalat, serta memperbanyak amal kebaikan. Namun, ada satu pertanyaan penting yang perlu kita renungkan: Apakah amalan kita ikut pergi bersama berlalunya Ramadhan? Apakah semangat ibadah kita juga pergi bersama perginya Ramadhan? Jangan sampai kita menjadi hamba Ramadhan—yang hanya rajin beribadah di bulan suci, tetapi kembali lalai setelahnya.
Para ulama mengingatkan kita dengan sebuah nasihat berharga:
كُنْ عَبْدًا رَبَّانِيًّا وَلَا تَكُنْ عَبْدًا رَمَضَانِيًّا
"Jadilah hamba Allah yang sejati, jangan menjadi hamba Ramadhan.")
Mengapa demikian? Karena ibadah tidak terbatas hanya di bulan Ramadhan. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
"Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang kepadamu kematian." (QS. Al-Hijr: 99)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa tugas beribadah tidak berhenti hanya karena Ramadhan telah berakhir. Justru, Ramadhan harus menjadi titik awal Kembali untuk meningkatkan kualitas ibadah kita di bulan-bulan berikutnya.
Terutama mengamalkan 3 Kunci Kebahagiaan dunia dan akhirat
1. Perbanyak Dzikir
2. Perbanyak Sedekah
3. Senangkan Guru dan Orang Tua
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Marilah kita senantiasa meningkatkan rasa syukur kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberikan kepada kita berbagai macam nikmat,
terutama nikmat iman dan Islam.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi besar kita, Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan menuju cahaya kebenaran.
Saudaraku sekalian,
Hari ini saya ingin mengajak kita semua untuk merenungkan sebuah kisah yang
luar biasa tentang keberkahan sedekah dan keikhlasan dalam beramal.
Dikisahkan bahwa suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah berupa sebuah aba’ah – sejenis jubah atau kain yang indah. Aba’ah itu disimpan oleh istri beliau, Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Tak lama kemudian, seorang pengemis datang mengetuk pintu rumah
Nabi dan berkata:
"Saya adalah orang miskin, dan saya ingin meminta sedekah dari
Rasulullah."
Maka Rasulullah berkata kepada ‘Aisyah:
“Wahai ‘Aisyah, berikan aba’ah itu kepada pengemis tersebut.”
Maka diberilah aba’ah itu dengan penuh keikhlasan. Si pengemis pun bahagia bukan main, lalu membawa aba’ah tersebut ke pasar sambil berseru:
“Siapa yang mau membeli aba’ah Rasulullah?”
Tentu saja, orang-orang segera berkumpul, ingin membeli kain yang penuh berkah itu.
Namun, ada seorang tuan yang buta, mendengar seruan tersebut. Ia lalu memanggil pembantunya dan berkata:
“Belilah kain itu, berapa pun harganya. Jika engkau berhasil membelinya, maka engkau merdeka karena Allah.”
Akhirnya, pembantunya mendapatkan aba’ah tersebut dan membawanya kepada tuannya yang buta.
Dengan penuh keyakinan dan harap, si buta memegang kain itu dan
berdoa:
“Ya Allah, demi kemuliaan-Mu, dan demi berkah aba’ah Rasul-Mu yang mulia
ini, kembalikanlah penglihatanku.”
Maka, dengan izin Allah, penglihatannya pun kembali.
Keesokan harinya, ia datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyampaikan kisah menakjubkan itu, dan berkata:
"Wahai Rasulullah, penglihatanku telah kembali. Ini kain Engkau, aku kembalikan sebagai hadiah dariku."
Rasulullah tersenyum begitu lebar, hingga tampak gigi geraham beliau, lalu berkata kepada ‘Aisyah:
“Wahai ‘Aisyah, perhatikanlah kain ini. Dengan berkahnya, Allah telah mengkayakan seorang miskin, menyembuhkan seorang buta, memerdekakan seorang hamba, dan kini kembali lagi kepada kita.”
Masya Allah…
Lihatlah betapa berkahnya satu sedekah yang ikhlas.
Satu pemberian kecil, namun efeknya besar: mengubah hidup banyak orang.
Saudaraku,
Kisah ini bukan sekadar dongeng atau cerita untuk dikagumi, tapi ia adalah pelajaran
hidup. Bahwa:
- Sedekah tak pernah mengurangi harta, justru mendatangkan keberkahan.
- Keikhlasan dalam memberi membawa manfaat yang tidak terduga.
- Keberkahan hidup itu nyata bagi orang-orang yang mengamalkan sunnah Nabi dengan penuh cinta.
Maka marilah kita meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hanya dalam perkataan, tapi juga dalam perbuatan.
Mari kita jadikan sedekah sebagai gaya hidup, bukan sekadar kewajiban.
Semoga kisah ini menguatkan iman kita, menumbuhkan semangat memberi, dan membuat kita semakin mencintai Rasulullah dan sunnah-sunnahnya.
Komentar
Posting Komentar