KEAGUNGAN BULAN RAMADHAN KH. ZAINUDDIN MZ |
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita
nikmat iman dan Islam, serta kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan yang
penuh berkah, yaitu bulan Ramadan.
Hadirin sekalian, dari dua belas bulan dalam kalender Islam, Ramadan
memiliki kedudukan istimewa. Bulan ini disebut Sayyidul Syuhur, yang
berarti penghulu dari seluruh bulan. Apa yang membuat Ramadan begitu
mulia? Setidaknya ada empat alasan utama yang menjadikan bulan ini lebih utama
dibandingkan bulan lainnya.
1. Ramadan Bulan Diturunkannya Al-Qur’an
Allah SWT telah memilih Ramadan sebagai bulan diturunkannya wahyu yang
paling mulia, yaitu Al-Qur’anul Karim. Hal ini ditegaskan dalam
firman-Nya:
“Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi manusia serta penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)
Karena itu, salah satu amalan yang sangat dianjurkan di bulan Ramadan
adalah memperbanyak membaca dan memahami Al-Qur’an. Bahkan, dalam
sejarah disebutkan bahwa Rasulullah SAW dan malaikat Jibril bertadarus
Al-Qur’an setiap malam Ramadan.
2. Malam Lailatul Qadar: Lebih Baik dari 1000 Bulan
Keistimewaan lain dari Ramadan adalah adanya Lailatul Qadar,
malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah SWT berfirman:
“Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS.
Al-Qadr: 3)
Bayangkan, ibadah yang dilakukan pada malam tersebut bernilai lebih
baik dari 83 tahun ibadah! Umur manusia jarang mencapai usia tersebut,
tetapi Allah memberikan kesempatan luar biasa kepada kita dengan hadirnya malam
Lailatul Qadar.
Menurut Imam Al-Ghazali, Lailatul Qadar biasanya terjadi di 10 malam
terakhir Ramadan, terutama di malam-malam ganjil seperti malam ke-21, 23,
25, 27, dan 29. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk meningkatkan ibadah
sepanjang bulan Ramadan, bukan hanya menunggu malam-malam tertentu saja.
3. Ramadan: Bulan Dihapusnya Dosa
Hadirin yang dirahmati Allah,
Sejak kita akil baligh hingga saat ini, tentu kita telah banyak
melakukan kesalahan dan dosa. Mungkin ada di antara kita yang telah berbuat
dosa selama 40 tahun, lalu bertaubat selama 20 tahun. Jika
dihitung dengan logika dagang, taubat ini seakan belum cukup untuk menghapus
dosa sebelumnya.
Namun, Allah SWT Maha Pengampun. Dalam bulan Ramadan, Allah
memberikan kesempatan besar untuk menghapus dosa-dosa kita. Rasulullah SAW
bersabda:
“Barang siapa yang berpuasa Ramadan dengan penuh keimanan dan
mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Subhanallah! Inilah kesempatan bagi kita untuk memperbanyak istighfar,
shalat malam, dan berbagai amalan kebaikan lainnya agar dosa-dosa kita
diampuni.
4. Ramadan: Bulan Pahala Berlipat Ganda
Bulan Ramadan juga dikenal sebagai bulan penuh keberkahan, di
mana setiap amalan kebaikan dilipatgandakan pahalanya. Dalam sebuah hadits
disebutkan bahwa jika manusia mengetahui keutamaan Ramadan, mereka akan
berharap agar sepanjang tahun itu adalah Ramadan.
Bahkan, segala doa yang dipanjatkan di bulan Ramadan lebih mudah
dikabulkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, mari kita manfaatkan momen ini
dengan memperbanyak sedekah, berzikir, shalat malam, dan amal kebajikan
lainnya.
Hadirin yang berbahagia,
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang bergembira dengan datangnya bulan Ramadan, Allah
akan mengharamkan jasadnya dari api neraka.” (HR. Ahmad)
Namun, kegembiraan dalam menyambut Ramadan bukan hanya sekadar
merayakannya dengan petasan atau bedug, melainkan dengan persiapan diri
untuk beribadah dengan lebih baik. Ramadan bukan hanya tentang menahan
lapar dan haus, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu, menjaga lisan, dan
meningkatkan kualitas ibadah kita.
Keistimewaan Ibadah Puasa
1. Panggilan Istimewa untuk Orang Beriman Allah memanggil
orang-orang yang beriman untuk melaksanakan puasa, sebagaimana dalam
firman-Nya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(QS. Al-Baqarah: 183)
Panggilan ini bukan ditujukan kepada semua manusia, tetapi hanya kepada
orang-orang yang memiliki iman. Imanlah yang menjadi syarat utama untuk
menerima panggilan ini. Jika seseorang tidak beriman, maka ia tidak merasa
terpanggil untuk menjalankan ibadah puasa.
Sebagai ilustrasi, bayangkan ada seorang penjual pepaya, penjual duku,
dan penjual durian yang lewat di depan rumah kita. Jika kita memanggil,
"Bang Pepaya, berhenti sebentar!" maka yang berhenti hanya penjual
pepaya, bukan yang lainnya. Begitu juga dengan puasa, yang terpanggil hanyalah
mereka yang beriman. Orang yang tidak beriman tidak akan merasa harus menahan
diri dari makan dan minum di siang hari selama Ramadan.
Lebih dari itu, ada juga orang yang sudah beriman tetapi tidak
menjalankan puasa. Mereka adalah seperti "Mukmin yang budek"—mereka
mendengar panggilan Allah tetapi tidak menghiraukannya.
2. Ibadah yang Bersifat Rahasia (Sirriyah) Puasa memiliki
keistimewaan sebagai ibadah yang tersembunyi. Berbeda dengan shalat, zakat,
atau haji yang dapat terlihat oleh orang lain, puasa hanya diketahui oleh
pelakunya dan Allah. Seorang bisa saja berpura-pura puasa di depan orang lain,
tetapi diam-diam makan dan minum ketika tidak ada yang melihat. Namun, ia tidak
bisa berbohong kepada Allah.
Karena sifatnya yang rahasia, puasa juga sulit terkena penyakit riya
(pamer ibadah). Ibadah lain seperti shalat atau sedekah bisa saja dilakukan
dengan niat ingin dipuji orang. Namun, dalam puasa, seseorang berlatih untuk
ikhlas karena tidak ada yang dapat menilai puasanya selain Allah.
3. Ganjaran yang Tak Terbatas Keistimewaan lain dari puasa
adalah bahwa pahalanya langsung ditentukan oleh Allah, tanpa batas yang
spesifik. Dalam hadits qudsi, Allah berfirman:
"Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali
puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan
membalasnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika ibadah lain memiliki pahala yang jelas, seperti shalat berjamaah
yang dilipatgandakan 27 kali, puasa tidak disebutkan pahalanya secara pasti.
Hal ini memberikan dorongan bagi kita untuk melaksanakan puasa dengan penuh
keikhlasan dan kesungguhan.
Namun, ada pula orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa
selain lapar dan haus, sebagaimana sabda Nabi:
"Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan
apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga." (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah)
Oleh karena itu, kita harus menjaga puasa kita dengan benar, tidak
hanya menahan lapar dan haus tetapi juga menahan diri dari perkataan dan
perbuatan yang dapat merusak pahala puasa.
Puasa adalah salah satu ibadah yang Allah wajibkan kepada kita
sebagaimana yang difirmankan dalam Al-Qur’an:
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(QS. Al-Baqarah: 183)
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah untuk
membentuk pribadi yang bertakwa. Lalu, mengapa kita perlu melaksanakan ibadah
puasa? Setidaknya ada tiga hikmah utama yang dapat kita ambil dari ibadah ini.
1. Puasa Mengendalikan Nafsu
Manusia memiliki syahwat yang jika tidak dikendalikan akan
menjerumuskan ke dalam keburukan. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Apabila datang bulan Ramadan, dibukalah pintu-pintu surga,
ditutup pintu-pintu neraka, dan diikatlah setan-setan." (HR. Bukhari
dan Muslim)
Setan menggoda manusia melalui hawa nafsu. Dengan berpuasa, kita
melatih diri untuk mengendalikan keinginan dan menjauhkan diri dari godaan
setan. Orang yang mampu mengendalikan nafsunya akan menjalani hidup dengan
lebih lurus dan terarah.
Namun, jangan sampai puasa kita hanya sekadar menahan lapar dan haus di
siang hari, tetapi saat berbuka justru kehilangan kendali. Ada sebagian orang
yang sepanjang siang menahan diri, tetapi ketika berbuka, mereka makan
berlebihan hingga kekenyangan. Akibatnya, bukan ketakwaan yang diperoleh,
melainkan hanya sekadar pergantian waktu makan. Rasulullah ﷺ mengajarkan kita
untuk berbuka dengan sederhana:
"Berbukalah dengan kurma, jika tidak ada maka dengan air."
(HR. Abu Dawud)
Maka, hendaknya kita berbuka dengan etika yang baik. Awali dengan
seteguk air, beberapa butir kurma, atau makanan ringan, lalu shalat Maghrib
terlebih dahulu sebelum menyantap makanan utama. Dengan demikian, kita tetap
dapat mengendalikan diri meskipun dalam keadaan boleh makan dan minum.
2. Puasa Melatih Hidup Sederhana
Puasa mengajarkan kita untuk hidup sederhana dan merasa cukup. Orang
yang paling kaya bukanlah yang memiliki harta melimpah, tetapi orang yang
merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Dalam Islam, kekayaan sejati bukanlah
tentang memiliki banyak harta, melainkan tentang kepuasan hati.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
"Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas, ia pasti akan
menginginkan yang ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi mulut manusia
kecuali tanah (kematian)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sini kita belajar bahwa sifat rakus dan tamak akan menjauhkan kita
dari kebahagiaan. Dengan berpuasa, kita menyadari bahwa keinginan duniawi itu
sementara. Di siang hari, kita mungkin merasa sangat ingin makan ini dan itu,
tetapi setelah berbuka, kita merasa cukup hanya dengan makanan sederhana.
Itulah pelajaran penting agar kita tidak terjebak dalam kerakusan duniawi.
3. Puasa Menumbuhkan Kepedulian Sosial
Puasa juga mengajarkan kita untuk peduli terhadap fakir miskin. Saat
kita merasakan lapar dan haus, kita lebih memahami penderitaan mereka yang
setiap hari kekurangan makanan. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Bukanlah seorang mukmin yang kenyang sementara tetangganya
kelaparan." (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, bulan Ramadan adalah waktu yang tepat untuk
memperbanyak sedekah. Nabi Muhammad ﷺ sendiri dikenal sebagai orang yang paling dermawan, dan ketika
Ramadan, kedermawanannya semakin bertambah.
Dalam dunia pendidikan, metode yang paling efektif adalah dengan
pembelajaran langsung (audio-visual). Dengan berpuasa, kita mengalami sendiri
bagaimana rasanya lapar, sehingga kita lebih terdorong untuk membantu mereka
yang membutuhkan.
Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi lebih dari itu,
puasa adalah sarana pendidikan bagi diri kita. Seperti halnya mengajar anak
berenang, tidak bisa hanya dengan teori semata. Anak harus diajak langsung ke
kolam renang, merasakan air, dan belajar secara praktik. Begitu juga ketika
mengajarkan anak naik sepeda, tidak cukup dengan menjelaskan teori saja. Ia
harus diberikan sepedanya, belajar menyeimbangkan tubuhnya, hingga akhirnya
bisa mengayuh dengan lancar.
Begitu pula dalam menumbuhkan rasa cinta kepada fakir miskin. Tidak
cukup hanya dengan seminar, kongres, atau diskusi ilmiah. Kita harus
benar-benar merasakan apa yang mereka rasakan. Apa itu lapar? Apa itu haus?
Kita tidak bisa hanya memahami kemiskinan dari buku atau ceramah semata. Islam
mengajarkan kita untuk mengalami sendiri bagaimana rasanya lapar dan haus
melalui ibadah puasa.
Jika kita benar-benar menghayati lapar dan haus saat berpuasa, maka
hati kita akan lebih peka terhadap penderitaan saudara-saudara kita yang hidup
dalam kesulitan. Kita hanya lapar dan haus dari terbit fajar hingga maghrib,
sedangkan mereka? Ada yang setiap harinya harus menahan kelaparan, tidak tahu
kapan bisa makan lagi. Ada anak yatim piatu yang terlunta-lunta, ada orang tua
renta yang hidup dalam kemiskinan tanpa tempat tinggal yang layak.
Hadirin yang berbahagia,
Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sayangilah apa yang ada di bumi, maka yang di langit akan
menyayangi kalian." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadits ini mengajarkan kita bahwa kasih sayang kepada sesama adalah
kunci keberkahan dalam hidup. Orang kaya harus menyayangi fakir miskin dengan
menolong mereka. Orang yang berilmu harus membimbing orang yang masih awam.
Pemimpin harus melindungi rakyatnya. Jika ini dilakukan, maka Allah akan
menurunkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sebaliknya, jika yang kaya menindas
yang miskin, pemimpin menzalimi rakyat, dan orang berilmu mempermainkan orang
bodoh, maka bukan rahmat yang turun, melainkan azab Allah.
Hadirin sekalian,
Puasa juga mengajarkan kita tentang kejujuran dan disiplin. Lihatlah,
ketika siang hari kita berada di kamar seorang diri, tidak ada yang melihat
kita. Kita bisa saja makan dan minum tanpa ada yang tahu. Tapi mengapa kita
tetap menahan diri? Karena kita sadar, meskipun manusia tidak melihat, Allah
selalu mengawasi.
Puasa juga menjadi cara untuk menjaga kesehatan. Rasulullah ﷺ
bersabda:
"Shuumuu tashihhuu" (Berpuasalah, niscaya kalian akan
sehat). (HR. Thabrani)
Ketika kita berpuasa, sistem pencernaan kita diberi waktu untuk
beristirahat setelah bekerja terus-menerus. Inilah yang membuat tubuh kita
lebih sehat. Bahkan, tidak ada orang yang mati karena puasa, kecuali jika ia
melakukan puasa secara ekstrem dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Hadirin yang dirahmati Allah,
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali membagi orang yang
berpuasa menjadi tiga golongan:
- Shaumul ‘Awam
(Puasa orang awam)
Ini adalah puasa orang yang hanya menahan makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi tidak menjaga mata, telinga, tangan, dan hati dari perbuatan dosa. - Shaumul Khawwas
(Puasa orang khusus)
Ini adalah puasa yang tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuh dari maksiat. - Shaumul Khawwasil
Khawwas (Puasa orang yang sangat khusus)
Ini adalah puasa yang bukan hanya menahan jasmani dari hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi juga menjaga hati dari segala sesuatu selain Allah.
Maka, mari kita bertanya pada diri kita masing-masing, termasuk dalam
golongan yang manakah puasa kita?
Puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam yang wajib kita laksanakan.
Namun, ada beberapa hal yang dapat membatalkan puasa, salah satunya adalah
muntah yang disengaja. Jika seseorang sengaja memuntahkan isi perutnya, maka
puasanya batal. Hal ini berbeda dengan muntah yang tidak disengaja, karena
sesuatu yang tidak disengaja tidak dapat membatalkan puasa.
Demikian pula, hubungan suami istri di siang hari dengan sengaja juga
membatalkan puasa. Jika dilakukan tanpa sengaja, maka tidak batal, tetapi
begitu sadar, harus segera dihentikan dan melanjutkan puasanya. Jangan sampai
ketika ingat, justru tetap melanjutkan dengan alasan “tanggung,” karena ini
yang menyebabkan batalnya puasa.
Hadirin yang berbahagia,
Dalam sebuah hadis, diceritakan ada seorang sahabat yang mendatangi
Rasulullah ﷺ
dan berkata, "Ya Rasulullah, celakalah aku!" Rasulullah
bertanya, "Apa yang membuatmu celaka?" Sahabat itu menjawab, "Aku
sedang berpuasa Ramadan, tetapi aku tidak mampu menahan diri dan aku
berhubungan dengan istriku."
Rasulullah ﷺ
kemudian menjelaskan bahwa orang yang membatalkan puasanya dengan hubungan
suami istri harus membayar kaffarah (denda), yaitu:
- Membebaskan seorang
budak. Jika tidak mampu,
- Berpuasa dua bulan
berturut-turut tanpa terputus. Jika tidak mampu juga,
- Memberi makan 60
orang fakir miskin.
Sahabat tersebut mengakui bahwa ia tidak mampu melakukan semua itu.
Akhirnya, Rasulullah memberikan sekeranjang kurma dan menyuruhnya
menyedekahkannya kepada fakir miskin. Tetapi sahabat itu berkata, "Ya
Rasulullah, di kampungku, tidak ada yang lebih miskin dari aku."
Rasulullah pun tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, berikanlah kurma
itu untuk keluargamu."
Kisah ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel, tidak
kaku, dan selalu memberikan solusi bagi umatnya.
Hadirin yang dirahmati Allah,
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan istri-istri kamu." (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat ini menjelaskan bahwa hubungan suami istri diperbolehkan pada
malam hari setelah berbuka, tetapi diharamkan pada siang hari saat berpuasa.
Oleh karena itu, bagi pasangan yang baru menikah atau sedang dalam masa
pengantin baru, bersabarlah di siang hari, dan manfaatkan waktu yang dihalalkan
oleh Allah.
Selain hal-hal yang membatalkan puasa, kita juga harus menjaga hal-hal
yang dapat mengurangi pahala puasa. Contohnya adalah ghibah (menggunjing),
berbohong, dan memandang hal-hal yang tidak baik. Imam Ali berkata, "Pandangan
pertama adalah untukmu, tetapi yang kedua adalah atasmu." Artinya,
jika tanpa sengaja melihat sesuatu yang dilarang, maka itu tidak mengapa,
tetapi jika kita terus melihat dengan sengaja, maka itu menjadi dosa.
Hadirin sekalian,
Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan seluruh
anggota tubuh dari hal-hal yang tidak baik. Ada tiga tingkatan puasa:
- Puasa orang awam
(Shaum al-‘Awam), yaitu hanya menahan makan, minum, dan hubungan suami
istri.
- Puasa orang
khusus (Shaum al-Khawash), yaitu selain menahan makan dan minum, juga
menjaga panca indera dari maksiat.
- Puasa orang yang
sangat khusus (Shaum Khawash al-Khawash), yaitu selain menjaga panca
indera, juga menjaga hati dari segala sesuatu selain Allah.
Orang yang mencapai tingkatan tertinggi ini bahkan menganggap bahwa
sekadar memikirkan makanan berbuka pun sudah mengurangi nilai puasanya.
Sebaliknya, kita sering kali bukan hanya berpikir, tetapi sudah menyiapkan
berbagai macam menu berbuka sebelum azan magrib berkumandang.
Hadirin yang dimuliakan Allah,
Rasulullah ﷺ
membagi bulan Ramadan menjadi tiga bagian:
- 10 hari pertama
adalah fase Rahmah (turunnya kasih sayang Allah).
- 10 hari kedua
adalah fase Maghfirah (ampunan Allah).
- 10 hari terakhir
adalah fase Itqun minan Nar (dibebaskan dari api neraka).
Jika diibaratkan dalam pertandingan sepak bola, 10 hari pertama adalah
babak penyisihan, di mana semua orang masih semangat beribadah. Masjid-masjid
penuh, tadarus Al-Qur'an ramai, dan shalat tarawih meriah. Tetapi yang
terpenting bukan hanya semangat di awal, melainkan bagaimana kita bisa
istiqamah hingga akhir Ramadan.
Bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah yang terbagi menjadi tiga fase
utama. Fase pertama adalah 10 hari pertama, yang dikenal sebagai masa
rahmat, di mana Allah SWT melimpahkan kasih sayang-Nya kepada
hamba-hamba-Nya. Ini seperti babak penyisihan dalam sebuah pertandingan, di
mana semangat umat Islam sangat tinggi. Masjid-masjid penuh, tadarus Al-Qur'an
menggema di mana-mana, dan ibadah terasa begitu ringan.
Memasuki fase kedua, dari tanggal 10 hingga 20 Ramadan, kita
berada dalam masa maghfirah, yakni waktu turunnya ampunan dari Allah
SWT. Pada titik ini, ibarat dalam sebuah kompetisi, kita telah memasuki babak
semifinal. Semakin mendekati puncak, semakin banyak yang mulai berguguran.
Semangat yang awalnya membara, mulai meredup. Ada yang mulai lalai dari ibadah,
tadarus Al-Qur'an mulai sayup-sayup terdengar, dan barisan shalat tarawih
semakin maju ke depan karena banyak yang tidak lagi hadir.
Hadirin yang dirahmati Allah,
Puncaknya adalah fase ketiga, yaitu 10 hari terakhir Ramadan.
Inilah masa pembebasan dari api neraka. Kita telah memasuki babak
final. Pada tahap ini, jumlah peserta semakin sedikit. Mengapa? Karena
mulai tanggal 20 Ramadan ke atas, pikiran manusia bercabang. Yang punya kampung
mulai bersiap mudik, para pegawai sibuk memikirkan gaji dan kebutuhan lebaran,
serta berbagai urusan duniawi lainnya. Padahal, justru di fase inilah kita
diperintahkan untuk lebih meningkatkan ibadah, terutama dalam mencari Lailatul
Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya untuk memperbanyak ibadah di
10 malam terakhir ini, baik dengan i’tikaf, membaca Al-Qur'an, maupun
memperbanyak doa dan dzikir. Karena di sinilah Allah SWT memberikan penghargaan
tertinggi kepada mereka yang tetap istiqamah hingga akhir Ramadan.
Hadirin yang berbahagia,
Mereka yang berhasil menyelesaikan Ramadan dengan baik akan keluar
sebagai finalis Ramadan. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan piagam
penghargaan dari Allah SWT. Di dalam piagam itu tertulis:
"Hamba ini telah berhasil melalui Ramadan dengan penuh keimanan
dan keikhlasan. Maka seluruh dosanya telah diampuni, dan ia kembali dalam
keadaan suci seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya."
Orang-orang seperti inilah yang pantas mengucapkan Minal ‘Aidin wal
Faizin, yang artinya semoga kita termasuk orang-orang yang kembali
kepada fitrah dan meraih kemenangan. Mereka benar-benar kembali dalam
keadaan bersih dari dosa kepada Allah SWT.
Namun, ada juga orang yang puasanya hanya dua malam, tarawih tiga hari,
tapi lebarannya tiga hari penuh. Orang seperti ini tidak tahu diri, tapi tetap
ikut-ikutan mengucapkan Minal ‘Aidin wal Faizin. Padahal, kemenangan
yang sebenarnya adalah ketika kita berhasil keluar dari Ramadan sebagai pribadi
yang lebih baik dan lebih dekat dengan Allah SWT.
Maka, mari kita manfaatkan sisa Ramadan ini dengan sebaik-baiknya.
Tingkatkan ibadah, perbanyak dzikir, dan perbanyak doa agar kita benar-benar
menjadi finalis Ramadan yang sejati dan mendapatkan ampunan serta ridha
Allah SWT.
Demikian ceramah singkat yang dapat saya sampaikan. Semoga Allah
menerima ibadah kita dan menjadikan kita bagian dari orang-orang yang kembali
dalam keadaan suci dan beruntung.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Komentar
Posting Komentar