MENYAMBUT RAMADHAN 1446 H/ 2025 M


 

الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيْقِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ  أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا َرَسُوْلُ الله اَمَّا بَعْدُ: قال الله فى القرأن الكريم : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ و قال النبي صلى الله عليه و سلم:  مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya segala amal saleh menjadi sempurna, dan dengan karunia-Nya segala kebaikan dan berkah diturunkan. Dengan taufik-Nya, segala tujuan dan cita-cita dapat tercapai. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Adapun setelah itu: Allah berfirman dalam Al-Qur’an: 'Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.' Dan Nabi Muhammad bersabda: 'Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.'" (HR. Bukhari)

Bulan Ramadhan: Bulan yang Dinanti-Nantikan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang selalu dinanti-nantikan kedatangannya oleh Rasulullah , para sahabat, dan orang-orang saleh. Mengapa demikian? Karena setiap perbuatan baik yang dilakukan di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah .

Allah telah menetapkan tempat dan waktu tertentu di mana amal kebaikan yang kita lakukan akan mendapatkan pahala yang jauh lebih besar.

Pertama, tempat yang penuh keberkahan:

Di antaranya adalah Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. Rasulullah bersabda bahwa satu shalat fardu yang kita kerjakan di Masjidil Haram (Makkah) setara dengan 100.000 kali lipat dibandingkan shalat di tempat lain. Sementara, shalat di Masjid Nabawi (Madinah) memiliki keutamaan yang juga sangat besar.

Kedua, waktu yang penuh keberkahan:

Allah telah menetapkan satu bulan dalam setahun di mana semua amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan. Pada bulan ini, Allah membuka pintu-pintu surga, menutup pintu-pintu neraka, dan membelenggu setan-setan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi .

Bulan Ramadhan adalah kesempatan besar bagi kita untuk memperbanyak amal ibadah, seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur'an, bersedekah, dan kebaikan lainnya. Mari kita manfaatkan bulan yang penuh berkah ini untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih ridha-Nya.

مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الخَيْرِ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيهِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ.

Artinya: "Siapa saja yang mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu kebajikan di bulan Ramadhan, maka nilainya seperti menunaikan suatu perbuatan fardhu di luar Ramadhan. Dan siapa yang menunaikan suatu perbuatan fardhu di bulan Ramadhan, maka nilainya tujuh puluh kali lipat daripada ibadah fardhu di bulan-bulan lainnya." (HR. Ibnu Khuzaimah).

Persiapan Menyambut Bulan Ramadhan

Rasulullah , para sahabat, dan orang-orang saleh selalu berharap agar dapat bertemu kembali dengan bulan Ramadhan. Mereka mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelumnya, sebagaimana jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci mempersiapkan segala hal, baik jasmani maupun rohani, agar dapat beribadah dengan maksimal saat bertemu Allah di Makkah.

Begitu pula ketika Ramadhan tiba, para sahabat Rasulullah berusaha dengan sekuat tenaga untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah mereka. Mereka sadar bahwa bulan Ramadhan adalah kesempatan emas untuk mendekatkan diri kepada Allah , meraih pahala yang berlipat, serta mendapatkan ampunan-Nya.

Hal ini mirip dengan jamaah haji yang sedang berada di Makkah, mereka akan beribadah dengan sungguh-sungguh, karena menyadari bahwa mungkin saja itu adalah ibadah haji terakhir mereka. Maka, ketika mereka melakukan thawaf wada’ (thawaf perpisahan), mereka menangis, merasakan kerinduan yang mendalam karena harus berpisah dengan Baitullah.

Begitu pula dengan bulan Ramadhan. Kepergiannya tidak diharapkan oleh orang-orang saleh, para sahabat, dan Rasulullah . Mereka tahu betapa besarnya pahala yang Allah berikan di bulan ini, betapa luasnya rahmat dan maghfirah-Nya, serta betapa banyaknya orang yang akan dibebaskan dari api neraka.

Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan keutamaan bulan Ramadhan dan mampu memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Amin, ya Rabbal ‘alamin.

Maka dari itu Rasulullah bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِيْ رَمَضَانَ لَتَمَنَّوْا أَنْ تَكُوْنَ الشُّهُوْرُ كُلَّهَا رَمَضَانَ

"Andaikan umatku tahu apa yang tersembunyi dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka akan mengharapkan seluruh bulan dalam setahun menjadi bulan Ramadhan."

Mengapa Maksiat Masih Terjadi di Bulan Ramadhan?

Ketika bulan Ramadhan tiba, Allah memberikan banyak keistimewaan. Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

إذَا كَانَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ

"Jika masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu rahmat dibuka, pintu-pintu Jahannam ditutup, dan setan-setan pun diikat dengan rantai." (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, muncul pertanyaan: Mengapa masih ada maksiat yang terjadi di bulan Ramadhan, padahal setan telah dibelenggu?

Jawabannya adalah karena dalam diri manusia terdapat nafsu (An-Nafs). Dalam Islam, manusia memiliki lima unsur utama:

1.     Al-Jism (Jasmani)

2.     An-Nafs (Nafsu)

3.     Al-‘Aql (Akal)

4.     Al-Qalb (Hati)

5.     Ar-Ruh (Roh)

Di antara unsur ini, nafsu adalah faktor utama yang membedakan manusia dari malaikat. Jika malaikat hanya taat kepada Allah tanpa memiliki hawa nafsu, maka manusia dianugerahi nafsu sebagai ujian.

Nafsu manusia memiliki dua karakter utama:

1.     Seperti binatang ternak, yang cenderung hanya mengejar makan, minum, tidur, dan kesenangan duniawi.

2.     Seperti binatang buas, yang memiliki sifat sombong, mudah marah, emosional, dan suka menindas.

Ketika setan dibelenggu di bulan Ramadhan, godaan dari luar memang berkurang. Namun, jika seseorang tidak mampu mengendalikan nafsu, maka ia tetap bisa tergelincir dalam kemaksiatan. Oleh karena itu, tujuan utama puasa di bulan Ramadhan adalah menundukkan nafsu agar manusia dapat mencapai derajat takwa.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

Tingkatan-Tingkatan Nafsu menurut Imam Al-Ghazali

Dalam ajaran Islam, nafsu memiliki beberapa tingkatan yang berperan besar dalam pengaruhnya terhadap perbuatan manusia. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa nafsu ini memiliki beberapa tingkatan yang berbeda, dan setiap tingkatan memerlukan perjuangan untuk dikendalikan. Berikut adalah penjelasan tentang tingkatan-tingkatan nafsu:

1. An-Nafs al-‘Ammarah (Nafsu yang Memerintahkan Keburukan)

Allah berfirman:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS Yusuf [12]: 53)

Nafsu ‘ammarah adalah nafsu yang senantiasa memerintahkan kepada keburukan dan kemaksiatan. Nafsu ini menjadi alat setan untuk menggoda manusia menuju kehancuran dan penyesalan. Rasulullah bersabda bahwa memerangi nafsu ‘ammarah ini lebih berat daripada memerangi musuh yang tampak di hadapan kita. Beliau bersabda setelah perang:

رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ. قَالُوا: وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ؟ قَالَ: مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاهُ

"Kami kembali dari jihad kecil menuju jihad besar." Para sahabat bertanya, "Apakah jihad besar itu?" Beliau menjawab, "Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya." (HR. Al-Baihaqi)

2. An-Nafs al-Lawwama (Nafsu yang Menyesal)

Setelah berhasil mengendalikan nafsu ‘ammarah, seseorang akan berhadapan dengan nafsu lawwama, yang sering kali berubah-ubah. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

"Aku bersumpah demi hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (nafsunya sendiri)."(QS. Al-Qiyamah [75]: 1-2)

Nafsu lawwama sering kali bergolak dalam diri seseorang. Terkadang nafsu ini mendorong seseorang untuk taat, tetapi kadang juga mendorong untuk berbuat dosa. Nafsu ini masih bergantung pada keadaan dan sering kali berubah-ubah: terkadang seseorang menjadi rajin beribadah, namun terkadang juga malas; dermawan, namun kadang pelit.

3. An-Nafs al-Mutmainnah (Nafsu yang Tenang)

Tingkatan nafsu yang tertinggi adalah mutmainnah, yaitu nafsu yang sudah tidak lagi tergoda oleh keburukan dan godaan duniawi. Allah berfirman:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّة

"Hai nafsu yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai." (QS. Al-Fajr [89]: 27-28)

Nafsu mutmainnah ini adalah nafsu yang telah mencapai kedamaian, ketenangan, dan kepuasan dengan takdir Allah. Nafsu ini telah jinak dan tunduk sepenuhnya kepada Allah. Orang yang memiliki nafsu mutmainnah adalah orang yang merasa tenang dalam mengingat Allah dan selalu merindukan perjumpaan dengan-Nya. Mereka ridha dengan takdir Allah dan ikhlas menjalankan segala perintah-Nya.

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang." (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)

Puasa Sebagai Bentuk Pengendalian Nafsu

Puasa di bulan Ramadhan adalah sarana yang sangat efektif untuk melatih diri agar nafsu kita dapat mencapai tingkat mutmainnah. Dengan menahan diri dari makan, minum, dan segala bentuk hawa nafsu lainnya, kita berusaha untuk mengendalikan dan menundukkan nafsu agar dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah. Puasa bukan hanya menahan diri dari makanan dan minuman, tetapi juga merupakan latihan untuk menjauhkan diri dari segala perbuatan buruk dan godaan dunia.

Tiga Tingkatan Ikhlas Menurut Syekh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari

Ikhlas adalah kunci utama dalam beribadah kepada Allah . Menurut Syekh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari, ikhlas memiliki tiga tingkatan, yang masing-masing mencerminkan kedalaman pengabdian seorang hamba kepada Allah.

Tingkatan pertama: Ikhlas orang awam

Ikhlas pada level ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang beramal karena ingin mendapatkan pahala atau imbalan dari Allah. Sebagaimana seorang pekerja yang bekerja untuk mendapatkan upah, orang pada tingkatan ini beribadah dengan harapan memperoleh balasan surga atau tambahan kebaikan. Meskipun ini merupakan level ikhlas yang paling rendah, tetap saja ikhlas ini baik, karena amal ibadah mereka dilakukan tanpa riya atau syirik.

Tingkatan kedua: Ikhlas orang khusus

Ikhlas pada level ini dimiliki oleh mereka yang beribadah dengan tujuan akhirat, yaitu agar bisa masuk surga dan terhindar dari siksa neraka. Ini adalah tingkatan ikhlas yang lebih tinggi dibandingkan yang pertama, tetapi belum mencapai puncaknya.

Tingkatan ketiga: Ikhlasnya orang khusus dari yang khusus (khawashul khawas)

Ikhlas ini adalah tingkatan tertinggi yang dimiliki oleh para sufi dan orang-orang yang sangat dekat dengan Allah. Pada level ini, seseorang beribadah tanpa mengharapkan balasan dunia atau akhirat, melainkan semata-mata karena Allah . Ada tiga alasan utama mereka beribadah:

1.     Menunaikan hak Ketuhanan Allah (Rububiyyah)

Mereka beribadah karena Allah adalah Tuhan yang Maha Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta. Allah memang layak untuk disembah dan diagungkan. Contohnya, ketika kita bershalawat kepada Nabi Muhammad , kita melakukannya karena beliau memang layak untuk dishalawati, bukan karena ingin mendapatkan balasan tertentu.

2.     Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah

Mereka beribadah untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah, baik nikmat lahir maupun batin.

3.     Mengharapkan keridhaan Allah

Puncak dari ikhlas ini adalah beribadah semata-mata untuk mencari keridhaan, kecintaan, dan ma'rifat (pengetahuan mendalam) tentang Allah .

Ikhlas dan Ridha Allah

إِلٰهِي أَنْتَ مَقْصُودِي وَرِضَاكَ مَطْلُوبِي، أَعْطِنِي مَحَبَّتَكَ وَمَعْرِفَتَكَ

"Ya Tuhan, Engkaulah tujuanku dan ridha-Mu yang kucari. Berikanlah aku cinta-Mu dan ma'rifat kepada-Mu."

Doa ini mengajarkan kepada kita bahwa tujuan utama hidup seorang hamba adalah mencari ridha Allah . Segala amal ibadah, usaha, dan doa kita hendaknya dilandasi oleh cinta kepada Allah .

Sebagaimana juga disebutkan dalam sebuah doa yang diajarkan Rasulullah :

اللَّهُمَّ إِنِّى اَسْئَلُكَ حُبَّكَ و حب مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ

"Ya Allah, aku memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu, dan cinta terhadap amal yang dapat mendekatkanku kepada cinta-Mu." (HR. Tirmidzi)

Doa ini menggambarkan tiga tingkatan cinta yang harus kita miliki:

1.     Cinta kepada Allah

2.     Cinta kepada orang-orang yang mencintai Allah

3.     Cinta kepada amal yang mendekatkan kita kepada Allah

Ketika seorang hamba mendapatkan ridha Allah , insyaAllah ia akan terhindar dari siksa neraka dan dimasukkan ke dalam surga-Nya. Inilah kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat, keselamatan di dunia dan akhirat.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang ikhlas (mukhlisin) dan senantiasa mencari cinta serta ridha-Nya. Amin ya Rabbal 'alamin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHUTBAH IEDUL FITRI 1446 H

Tujuan Hidup Manusia

Jadilah Hamba Allah bukan Hamba Ramadhan