MEMPERINGAT ISRA MI’RAJ 2025


 

إنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَ بَعْدَه. أَمَّا بَعْدُ:

 

Peristiwa Sejarah dalam Kalender Islam

Jika kita perhatikan dengan seksama, hampir setiap bulan dalam kalender Islam memiliki nilai sejarah yang sangat penting. Setiap bulan mengingatkan kita pada peristiwa besar yang memiliki hikmah mendalam.

  • Bulan Muharram mengingatkan kita pada peristiwa Hijrah, perjalanan Rasulullah dari Makkah ke Madinah, yang merupakan awal mula kalender Islam.
  • Bulan Ramadhan membawa kita pada Nuzulul Qur'an, yaitu turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah , yang menjadi momen penting dalam sejarah Islam.
  • Bulan Dzulhijjah mengingatkan kita pada Idul Qurban, yang berhubungan dengan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, yang rela disembelih sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
  • Bulan Syawal menghadirkan Idul Fitri, hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadhan.
  • Bulan Rabi'ul Awal adalah bulan yang penuh berkah, karena kita memperingati Maulid Nabi, kelahiran Rasulullah yang membawa cahaya Islam ke seluruh dunia.
  • Bulan Rajab mengajak kita untuk merenung dan merasakan kebesaran Allah melalui peristiwa Isra Mi'raj, perjalanan spiritual Rasulullah yang luar biasa dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha dan naik ke langit.

Setiap bulan tersebut mengandung nilai sejarah dan pelajaran yang sangat berarti bagi kita, umat Islam. Dengan mengenal dan mengingat peristiwa-peristiwa ini, kita dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt dan terus menguatkan iman kita.

 

Perjalanan Isra dan Mi'raj Nabi Muhammad SAW

Selama hampir tiga tahun, Nabi Muhammad SAW bersama seluruh kaum Muslimin menghadapi boikot yang sangat berat dari kaum Quraisy. Kaum Quraisy sepakat untuk tidak mengadakan perkawinan, transaksi jual beli, bahkan tidak boleh berbicara dengan kaum Muslimin. Mereka juga sepakat untuk tidak menjenguk orang sakit atau mengantarkan jenazah orang yang meninggal dunia dari kalangan Bani Hasyim maupun kaum Muslimin.

Penderitaan yang dialami Nabi Muhammad SAW semakin bertambah berat setelah wafatnya Abu Thalib, paman yang telah melindunginya sejak kecil, setelah ibu Nabi, Aminah, dan kakeknya, Abdul Muthalib, meninggal dunia. Setelah Abu Thalib wafat, kaum Quraisy semakin leluasa menyakiti Nabi Muhammad SAW. Tak lama setelah itu, Sayyidah Khadijah RA, istri tercinta Nabi, juga wafat. Khadijah RA bukan hanya seorang istri yang penuh cinta, tetapi juga sahabat yang selalu mendukung perjuangan Nabi, baik secara material maupun spiritual.

Tiga peristiwa besar yang terjadi secara berurutan ini memberikan dampak yang mendalam pada jiwa Nabi Muhammad SAW. Beliau merasa sangat sedih dan beban dakwah yang beliau tanggung terasa semakin berat. Para sejarawan menamai tahun ini sebagai 'Amul Huzn (tahun kesedihan), karena perasaan berat yang dirasakan oleh Nabi.

Dalam kondisi penuh kesedihan ini, Allah SWT mengundang Nabi Muhammad SAW untuk melalui peristiwa luar biasa, yaitu Isra dan Mi'raj. Pada malam itu, Malaikat Jibril AS datang menjemput Nabi. Jibril membangunkan Nabi dan membimbingnya keluar dari Masjidil Haram. Di luar masjid, telah menunggu kendaraan yang disebut Buraq, yang kecepatannya lebih cepat dari cahaya.

Perjalanan pertama membawa Nabi menuju Kota Madinah. Jibril berkata, "Di kota inilah engkau nanti akan berhijrah." Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Syajar Musa, tempat Nabi Musa AS berhenti saat melarikan diri dari Mesir, lalu ke bukit tempat Nabi Musa AS menerima wahyu. Kemudian, perjalanan berlanjut ke Betlehem, tempat lahirnya Nabi Isa AS. Setelah itu, Nabi Muhammad SAW sampai di Masjidil Aqsha di Yerusalem, tempat beliau bertemu dengan para nabi dan rasul.

Dari sana, Jibril membimbing Nabi menuju sebuah batu besar, yang kemudian muncul tangga indah. Pangkal tangga berada di Baitul Maqdis, dan ujungnya menyentuh langit. Nabi Muhammad SAW bersama Jibril mulai menaiki tangga tersebut menuju langit, yang membawa mereka ke Sidratul Muntaha.

Di setiap langit, Nabi bertemu dengan para nabi besar: Di langit pertama, beliau bertemu dengan Nabi Adam AS; di langit kedua, beliau bertemu Nabi Isa AS dan Nabi Yahya AS; di langit ketiga, beliau bertemu Nabi Yusuf AS; di langit keempat, beliau bertemu Nabi Idris AS; di langit kelima, beliau bertemu Nabi Harun AS; di langit keenam, beliau bertemu Nabi Musa AS; dan di langit ketujuh, beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim AS.

Kemudian, Nabi Muhammad SAW dibawa ke Baitul Makmur, tempat di mana 70.000 malaikat sedang melaksanakan shalat. Setelah itu, Nabi Muhammad SAW melanjutkan perjalanan untuk menghadap Allah SWT, namun kali ini tanpa ditemani oleh Malaikat Jibril.

Perjalanan Isra dan Mi'raj ini bukan hanya sebuah perjalanan fisik, tetapi juga spiritual yang sangat penting, yang memperlihatkan kedekatan Nabi dengan Allah SWT, serta memberikan pelajaran bagi kita tentang pentingnya ketakwaan dan kesabaran dalam menghadapi ujian hidup.

 

Isra Mi’raj dalam Perspektif Al-Qur'an

Al-Qur'an banyak menceritakan peristiwa-peristiwa bersejarah yang penuh hikmah. Salah satu yang istimewa adalah peristiwa Isra Mi’raj. Ketika Allah menceritakan peristiwa ini, Allah memulai ayat-Nya dengan kalimat tasbih. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَا الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَآ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Maha Suci Allah (Maha Hebat Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Isra’ [17]:1)

Ada banyak peristiwa besar dalam Al-Qur'an, namun sangat jarang yang dimulai dengan kalimat tasbih seperti ini. Misalnya, peristiwa saat Fir'aun dan bala tentaranya tenggelam di Laut Merah. Itu adalah peristiwa yang sangat besar dan luar biasa, tetapi tidak diawali dengan kalimat tasbih.

Selanjutnya, Allah menggunakan kata ‘asra’, yang berarti "telah memperjalankan." Dari kata ini, kita bisa melihat bahwa dalam peristiwa Isra Mi'raj, yang aktif dan berkuasa penuh adalah Allah Swt. Nabi Muhammad berangkat dari Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina, kemudian naik ke langit ketujuh, terus ke Baitul Makmur, lalu ke Sidratul Muntaha, hingga akhirnya berada di bawah Arsy Allah untuk menerima perintah shalat. Dari sana, beliau melakukan kunjungan ke surga dan neraka, dan kemudian kembali lagi ke Makkah—semua ini hanya memakan waktu tidak lebih dari sepertiga malam.

Mengapa demikian? Karena yang memperjalankan adalah Allah Swt. Bila Nabi Muhammad berjalan sendiri, tentu beliau tidak akan sanggup menempuh jarak yang sangat jauh dalam waktu sesingkat itu. Namun, karena ini adalah kehendak dan kekuasaan Allah, maka perjalanan tersebut bisa terjadi dengan cepat.

Inilah yang perlu kita pahami: ketika kita memikirkan peristiwa Isra Mi'raj, kita harus menggunakan logika yang sesuai dengan ke-Maha Kuasaan Allah, bukan logika manusia biasa. Sebagai contoh, bayangkan seekor semut yang berada di dalam mobil. Dalam satu jam perjalanan, semut tersebut dapat menempuh jarak puluhan kilometer. Tentu yang dipakai adalah logika manusia untuk memahami perjalanan mobil, bukan logika semut.

 

Makna “Bi Abdihi” (Hamba-Nya) dalam Ayat Isra Mi'raj

Dalam ayat yang menceritakan peristiwa Isra Mi'raj, Allah menggunakan kata “bi Abdihi” (dengan hamba-Nya) untuk menyebut Nabi Muhammad . Mengapa Allah tidak menggunakan kata lain, seperti “subhanalladzi asra bi Muhammadin” (Maha Suci Allah yang telah memperjalankan Muhammad)? Ada dua makna penting yang terkandung dalam kata ‘abdihi’ atau “hamba-Nya”:

1.     Makna Pertama: Kata “hamba” ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad melakukan Isra dan Mi'raj dengan ruh dan jasad. Sebab, seseorang hanya bisa disebut hamba apabila ia memiliki tubuh dan jiwa, bukan hanya salah satunya. Allah memuliakan Nabi Muhammad sebagai seorang hamba yang sempurna, baik jasad maupun ruhnya, yang melakukan perjalanan luar biasa tersebut.

2.     Makna Kedua: Kata ‘abdihi’ juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad telah diakui oleh Allah sebagai hamba-Nya yang sejati. Mungkin kita sering mendengar orang mengaku sebagai hamba Allah, tetapi apakah pengakuan itu diakui oleh Allah? Banyak orang mengaku dirinya sebagai hamba Allah, tetapi perbuatannya justru membuktikan sebaliknya. Mereka malah menjadi hamba bagi hal-hal duniawi seperti harta, kekuasaan, jabatan, atau nafsu pribadi. Inilah yang menjadi permasalahannya.

Ada banyak orang yang mengaku sebagai hamba Allah, namun tindakannya menunjukkan bahwa mereka justru menjadi hamba bagi selain Allah: hamba syaitan, hamba dunia, atau hamba nafsu. Ini adalah pengakuan yang tidak diakui oleh Allah.

Dengan menggunakan kata ‘abdihi’, Allah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar merupakan hamba-Nya yang taat dan dipilih untuk melakukan perjalanan mulia ini.

Makna "Linuriyahu Min Ayatina" dalam Peristiwa Isra Mi'raj

Di akhir ayat yang menceritakan peristiwa Isra Mi'raj, kita menjumpai kalimat "linuriyahu min ayatina", yang artinya: "agar Kami perlihatkan kepadanya (Nabi Muhammad ) sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami". Allah Swt ingin menunjukkan kepada Nabi Muhammad sebagian kecil dari kebesaran-Nya melalui berbagai peristiwa yang beliau saksikan selama perjalanan Isra Mi'raj. Semua yang dilihat Nabi dalam perjalanan tersebut adalah gambaran dari kehidupan umat manusia dan peringatan bagi kita semua.

Berikut adalah beberapa contoh dari tanda-tanda kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad :

1.     Orang yang mencakar mukanya dengan kuku: Ketika Nabi melihat orang yang mencakar-cakar wajahnya sendiri, beliau bertanya, “Ya Jibril, itu orang macam apa?” Jibril menjawab, “Itulah orang dari umatmu yang suka menjelek-jelekkan saudara-saudaranya.” Ini merupakan gambaran bagi orang yang sering membicarakan keburukan orang lain, menyebarkan gosip, atau melakukan fitnah.

2.     Orang yang dipotong lidahnya: Nabi juga melihat seseorang yang lidahnya dipotong. Jibril menjelaskan, “Itulah orang dari umatmu yang suka membuat fitnah dan menyebarkan kebohongan.” Ini adalah peringatan bagi mereka yang tidak menjaga lisan, berbicara dengan dusta, dan merusak keharmonisan.

3.     Orang yang kepalanya retak dan pecah kemudian sembuh kembali: Nabi melihat sekumpulan orang yang kepalanya retak dan pecah, lalu kembali seperti semula. Jibril berkata, “Mereka adalah orang-orang yang enggan dan malas menunaikan kewajiban shalat.” Ini menggambarkan dampak buruk bagi orang yang meninggalkan kewajiban shalat, yang seharusnya menjadi pilar kehidupan seorang Muslim.

4.     Orang yang memperebutkan daging busuk: Nabi juga menyaksikan orang-orang yang berebut daging busuk, sementara daging yang lebih baik sudah tersedia. Jibril menjelaskan, “Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan yang halal dan lebih memilih yang haram.” Ini menunjukkan kebiasaan buruk memilih yang haram meski yang halal sudah tersedia, seperti mengejar kesenangan duniawi yang salah.

5.     Orang yang meminum nanah yang keluar dari pezina: Nabi melihat orang-orang yang meminum nanah yang keluar dari para pezina. Jibril berkata, “Mereka adalah orang-orang yang meminum khamr (minuman keras) yang diharamkan oleh Allah di dunia.” Ini merupakan gambaran bagi mereka yang terjerumus dalam perbuatan dosa besar seperti mengonsumsi alkohol.

6.     Kelompok orang yang bercocok tanam dan panen berbuah terus-menerus: Di tempat lain, Nabi melihat sekelompok orang yang bercocok tanam. Anehnya, setiap kali mereka menanam, pohon yang mereka tanam langsung berbuah, dan setiap kali buahnya dipetik, buah baru langsung tumbuh. Jibril berkata, “Itulah gambaran umatmu yang gemar memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan.” Ini adalah gambaran bagi mereka yang suka bersedekah, membantu orang lain dengan tulus, dan memberikan manfaat kepada sesama.

 

Keistimewaan Shalat dalam Peristiwa Isra dan Mi'raj

Dalam peristiwa Isra dan Mi'raj, Nabi Muhammad menerima perintah langsung dari Allah Swt untuk menunaikan shalat. Inilah salah satu keistimewaan shalat, karena di antara semua syariat Islam—seperti puasa, zakat, dan haji—hanya shalat yang diturunkan langsung dari langit. Tidak seperti yang lainnya, yang diturunkan di bumi, shalat adalah satu-satunya ibadah yang diperintahkan Allah Swt di langit, melalui peristiwa Isra Mi'raj di mana Nabi Muhammad dipanggil langsung oleh Allah Swt untuk menerima wahyu tersebut.

Peristiwa Isra dan Mi'raj adalah sebuah mu'jizat besar bagi Nabi Muhammad , yang tidak diberikan kepada manusia biasa. Namun, meskipun peristiwa ini adalah sebuah keistimewaan yang luar biasa bagi Nabi, kita sebagai umatnya juga diberikan kesempatan untuk "mi'raj" atau bertemu dengan Allah Swt, meskipun tidak secara langsung seperti Nabi Muhammad . Caranya adalah dengan melaksanakan ibadah shalat dengan penuh keikhlasan.

Rasulullah pernah bersabda, "Ash-shalatu mi'rajul mu'minin" (الصلاة مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِينَ), yang artinya: "Shalat itu adalah mi'rajnya orang-orang yang beriman." Jadi, melalui shalat, kita sebagai umat Islam memiliki kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, seolah-olah kita sedang mengadakan perjalanan spiritual yang menghubungkan kita langsung dengan-Nya.

Ini mengajarkan kita bahwa shalat bukan hanya sekedar kewajiban, tetapi juga merupakan kesempatan luar biasa untuk berkomunikasi dengan Allah Swt, memperkuat iman, dan merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu, mari kita jaga dan perbaiki kualitas shalat kita, karena di dalamnya terdapat banyak keutamaan dan keberkahan yang tidak ternilai harganya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHUTBAH IEDUL FITRI 1446 H

Tujuan Hidup Manusia

Jadilah Hamba Allah bukan Hamba Ramadhan